Jakarta| Kilaskriminal.com – Sungguh malang melihat nasib negeri bernama Indonesia. Negeri yang konon “gemah ripah loh jinawi”, negeri kaya-raya, tapi rakyatnya bermandikan pilu dan derita sepanjang masa. Tidak hanya miskin materi, tapi juga miskin keadilan.
Namun kemalangan itu belum seberapa. Sebab adakah nasib malang yang lebih malang dari nasib Presiden Jokowi yang dielu-elukan banyak orang di seantero negeri dan manca negara itu? Bayangkan, instruksi orang nomor wahid di Indonesia ini tidak dianggap sama sekali oleh oknum polisi kroco di Polda Sulawesi Tenggara sana. Luar biasa!
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo gembar-gembor menyuruh rakyatnya mengawasi penggunaan Dana Desa (DD) yang dikucurkan ke 74 ribu desa se nusantara. Tapi di lain pihak, tepatnya di Polda Sulawesi Tenggara ada oknum polisi yang diduga kuat menjadi herder alias anjing penjaga bagi oknum Kepala Desa (Kades) Tanjung Laimeo agar dana desa dapat diembat sesuka hati sang oknum kades. Fenomena ini jelas merupakan Ironi Negeri Konoha, meminjam bahasa para slanker terkini.
Adalah Edran, seorang wartawan lokal memberitakan tentang dugaan pengemplangan dana desa oleh oknum Kades Tanjung Laimeo, Kecamatan Sawa, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Berita itu diunggah di media online tempatnya berkarya, dengan situs www.topikterkini.com. Tulisan Edran itu sesungguhnya adalah kutipan dari hasil wawancaranya terhadap narasumber, Aras Moita, yang merupakan warga di wilayah itu.
“Awalnya diduga oknum Kades Tanjung Laimeo menganggarkan pembangunan tambatan perahu (dermaga kayu) tahun 2018 dengan nilai anggaran Rp.151.370.000 dan Laporan Pertanggung-jawaban (LPJ)-nya diduga telah rampung, sebab telah tayang pada Sistem Informasi Desa (SID). Namun diketahui kegiatan tersebut bukan bersumber dari dana desa (DD), melainkan yang kami ketahui itu merupakan proyek Kementerian Ketenagakerjaan Balai Besar Pengembangan Pasar Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja oleh Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Konawe Utara, yang pada tahun 2018 itu kami bersama masyarakat setempat melakukan rapat/musyawarah dalam acara sosialisasi Dinas Nakertrans (yang) juga dihadiri oleh Camat Sawa terkait pembangunan dermaga kayu itu.” Demikian kutipan pernyataan Aras Moita yang dalam tulisan Edran diinisialkan sebagai AM.
Berita selengkapnya di sini: Proyek Dermaga Kayu Milik Nakertrans, Diduga Diklaim Pemdes Tanjung Laimeo Bersumber DD (https://topikterkini.com/2021/04/04/proyek-dermaga-kayu-milik-nakertrans-diduga-di-klaim-pemdes-tanjung-laimeo-bersumber-dd/)
Laporan yang ditayangkan pada 4 April 2021 itu selanjutnya menuai protes dari kepala desa setempat. Oknum Kades tersebut diduga kuat membuat laporan polisi ke Polda Sulawesi Tenggara terkait berita ini. Penulis berita, Edran, dilaporkan karena tulisannya itu.
Alhasil, saat ini Edran harus berhadapan dengan hukum. Dia dijerat dengan pasal berlapis hasil utak-atik pasal oleh oknum penyidik berinisial HRS di Polda Sultra. Wartawan diancam dengan Pasal 14 ayat (1) UU Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 yang ancaman hukumannya 10 tahun penjara, dan Pasal 14 ayat (2) UU yang sama dengan ancaman hukuman 3 tahun penjara. Lulusan sarjana kehutanan itu juga dikenakan Pasal 45 ayat (3) Jo pasal 27 ayat (3) Undang-Undang RI No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau pasal 311 ayat (1) KUHP dan pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP.
Otak oknum polisi di Polda Sultra yang menangani kasus ini sangat unik. Mereka bukannya menyelidiki tentang kebenaran informasi terkait dugaan penyelewengan dana rakyat oleh penguna anggaran yang dilaporkan rakyat melalui media, tapi yang dikejar untuk diproses hukum adalah rakyat yang melaporkan atau memberitakan dugaan penyelewengan tersebut.
Alasan oknum polisi itu juga sangat aneh dan memprihatinkan. Edran ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap medianya tidak terverifikasi dewan pers, plus Edran terdaftar pada organisasi pers yang non-konstituen dewan pers. Memang benar-benar super edan polisinya..!!!
Oknum polisi itu tidak sadar bahwa dewan (pecundang) pers itu telah melecehkan institusi kepolisian dalam kasus wartawan menjadi Kapolsek di Blora beberapa waktu lalu. Oknum itu juga tidak sadar (mungkin karena kebanyakan nyabu) bahwa ada ribuan polisi berfungsi ganda di lapangan sebagai “wartawan” dan berkolaborasi dengan rekan-rekan wartawan di lapangan. Apakah semua polisi-wartawan dan/atau wartawan-polisi itu memiliki KTA organisasi yang tergabung di dewan pers? Apakah media-media yang selama ini memberitakan kegiatan Polri (dan K/L lainnya) merupakan media yang terverifikasi dewan pers?
Bagi saya, oknum polisi semacam HRS and the genk ini hampir pasti telah menjadi bagian dari mafia pengemplang Dana Desa bersama para oknum yang terlibat dalam menggunakan anggaran negara itu. Dengan segala kewenangan yang diberikan kepadanya, oknum tersebut terindikasi kuat melakukan berbagai rekayasa kasus agar warga kritis seperti Edran dan medianya dapat dibungkam.
Tidak hanya itu, oknum polisi HRS dan sejenisnya telah bekerja bukan untuk kepentingan rakyat, tapi justru menjadi jongos lembaga partikelir dewan pers. Semestinya oknum zalim seperti ini tidak layak menyandang status sebagai pengemban tupoksi Polri: melayani, melindungi, mengayomi rakyat, dan menegakkan hukum berdasarkan fakta demi menghadirkan keadilan.
Sebagai rakyat, saya merugi besar membiayai oknum polisi HRS bermental sambo di Polda Sultra itu. (*)