Polisi menembakan gas air mata saat para suporter bergegas ke lapangan.
Para penggemar sepak bola Indonesia khususnya Aremania (penggemar Arema) bergegas ke lapangan usai pertandingan Liga Satu Indonesia pada sabtu malam(01/10/2022), mendorong polisi untuk menembakan gas air mata ke kerumunan tribun yang padat dan memicu penyerbuan yang menewaskan ratusan orang.
Aremania memadati Stadion Kanjuruhan di Malang, Indonesia, untuk melihat tim kesayangan mereka sebagai tuan rumah melawan Persebaya Surabaya. Setelah Arema kalah 3-2, suporter langsung turun menyerbu ke tengah lapangan.
“Kerusuhan tersebut mendorong polisi untuk menembakan gas air mata yang menyebabkan kepanikan”, kata Inspektur Jenderal Nico Afinta, Kapolda Jawa Timur, pada konferensi pers. Hingga saat ini telah tercatat sebanyak 131 orang tewas, 550 orang korban luka ringan, 23 orang luka berat, dan 37 orang yang saat ini masih menjalani perawatan di Rumah Sakit.
Jumlah korban membuat kejadian yang terjadi pada pertandingan itu menjadi salah satu kejadian paling mematikan kedua dalam sejarah dunia sepak bola. Pada tahun 1964, setidaknya 300 orang tewas di Peru setelah keputusan tidak sesuai oleh wasit pada pertandingan sepak bola pada saat itu yang memicu kerusuhan di Stadion Nasional negara itu. (The New York Times, 1969).
Dalam pidato yang disiarkan televisi, Presiden Joko Widodo mengatakan beliau telah meminta Kapolri untuk melakukan penyelidikan menyeluruh atas apa yang terjadi dan memerintahkan evaluasi keamanan pada pertandingan sepak bola tersebut. “Saya menyayangkan tragedi ini terjadi,” kata Presiden Joko Widodo. “Dan saya berharap ini adalah tragedi sepak bola terakhir di negara ini”.
Organisasi hak asasi manusia melarang penggunaan gas air mata, yang juga dilarang oleh FIFA, selaku badan pengatur sepak bola dunia. Saksi mata mengatakan bahwa gas air mata terkadang ditembakkan tanpa pandang bulu ke tribun penonton, memaksa kerumunan yang telah melebihi kapasitas untuk bergegas mencari pintu keluar. “Penggunaan kekuatan aparat yang berlebihan melalui penggunaan gas air mata dan pengendalian massa yang tidak tepat menjadi penyebab banyaknya korban jiwa,” kata LBH Indonesia dalam sebuah pernyataan.
Namun Kapolres Jawa Timur, Bapak Afinta, membela penggunaan gas air mata, dengan mengatakan bahwa gas itu dikerahkan “karena ada anarki”. “Mereka hendak menyerang petugas dan merusak mobil,” katanya. (BOLA.NET, 2022)
Kelebihan kapasitas juga memperburuk situasi, menurut Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Panitia sepak bola setempat telah mencetak 42.000 tiket untuk stadion dengan kapasitas 38.000, menurut Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia.
Dia mengatakan para korban meninggal “karena terinjak-injak” — mereka diinjak-injak dan mati lemas.
“Tidak ada korban pemukulan atau penganiayaan terhadap suporter,” katanya. (KOMPAS.com, 2022)
Liga sepak bola, PT Liga Indonesia Baru, menangguhkan permainan setidaknya selama seminggu dan menyampaikan belasungkawa dalam sebuah pernyataan.
Badan pengatur sepak bola nasional, P.S.S.I., juga menyampaikan belasungkawa dan mengatakan penyelidikan sedang berlangsung tetapi tampaknya menyalahkan Aremania, dengan mengatakan pihaknya “menyesali tindakan” para penggemar.
Kekerasan sepak bola telah lama menjadi masalah bagi Indonesia, dimana persaingan sengit dan seringkali mematikan antara tim-tim besar sering terjadi. Flare sering dilemparkan ke lapangan, dan polisi anti huru-hara selalu hadir di banyak pertandingan. Sejak 1990-an, puluhan penggemar tewas dalam kekerasan terkait sepak bola. (ABC.net, 2019)
Para ahli mempertanyakan penggunaan gas air mata oleh polisi di stadion.
Pakar hak asasi manusia dan kepolisian telah mengajukan pertanyaan tentang taktik polisi dalam insiden maut yang menewaskan sebanyak 131 orang dalam pertandingan sepak bola di Indonesia, khususnya penggunaan gas air mata.
Gas air mata, yang menyebabkan sensasi terbakar di mata, mulut, hidung, paru-paru dan kulit, adalah senjata terlarang, yang dapat mempengaruhi sekelompok massa. Mereka yang tidak bergerak kemungkinan akan mencoba melarikan diri semampu mereka.
“Gas air mata sangat berisiko untuk digunakan di daerah seperti stadion, dimana orang-orang sulit untuk keluar”, kata Owen West, dosen senior kepolisian di Edge Hill University di Inggris. (Wired.co.uk, 2020)
“Sangat, sangat berbahaya menggunakan penyebaran gas air mata dalam kasus ini,” kata West. “Gas air mata adalah senjata jarak jauh. Itu ada untuk membuat jarak antara massa dan polisi. Itu ada untuk membubarkan. Dan terutama di benak petugas polisi yang memikirkan itu seharusnya baik, jika kita menggunakan perangkat ini, ke mana kita berharap orang-orang bubar?”
Gas air mata menjadi salah satu faktor dalam kejadian ini bahkan beberapa kejadian sebelumnya, karena orang-orang akan saling berdesakan saat mereka berusaha menyelamatkan diri.
FIFA, badan pengatur sepak bola dunia, mengatakan dalam peraturannya untuk keamanan stadion bahwa tidak ada “gas pengendali massa” yang boleh dibawa atau digunakan oleh aparat atau petugas polisi yang bertanggung jawab atas keamanan dalam pertandingan. (FIFA, n.d.)
Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International for Indonesia, mengatakan dalam sebuah pernyataan tertulis bahwa gas air mata “hanya boleh digunakan untuk membubarkan massa ketika kekerasan meluas telah terjadi dan ketika metode lain gagal.” (Republik Merdeka, 2022)
Usman Hamid mengatakan seharusnya massa diberi peringatan dan kesempatan untuk bubar. “Gas air mata juga tidak boleh ditembakkan di ruang terbatas,” tambahnya.
Sementara reaksi para suporter di Indonesia terlihat panik, perilaku mereka sangat masuk akal mengingat efek gas air mata, kata Mr. West. “Melarikan diri dari sesuatu yang merusak pernapasan, penglihatan, dan kesehatan Anda secara umum, itu adalah keputusan yang sepenuhnya rasional,” tambahnya. (Wired.co.uk, 2020)